Tuesday, October 16, 2007

Belajar Bahasa Jawa, Belajar Rendah Hati

Dari ratusan bahasa yang ada di antero Nusantara, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa dengan jumlah penutur yang cukup banyak. Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa posisi bahasa Jawa makin hari kian terpinggirkan, entah dengan dalih modernisasi / globalisasi yang menyerbu merasuk ke segala lini kehidupan melalui beragam media atau mungkin juga karena pendidikan bahasa daerah yang kurang mendapatkan dukungan dalam sistem pendidikan saat ini.

Ditinjau dari sisi keluarga, saat ini banyak orang tua yang bangga bila anaknya mahir bercakap dalam pelbagai bahasa asing. Bahkan demi meningkatkan kecakapan si anak dalam berbahasa manca, para orang tua tak segan merogoh koceknya dalam-dalam untuk mengikutkan si anak pada kursus bahasa asing yang menjamur bak cendawan di musim hujan. Si anak pun setali tiga uang, agar terlihat lebih terpelajar, dalam setiap kesempatan tak segan-segan diselipkannya sejumlah kata dari bahasa manca meski tak jelas benar apakah ia mengerti apa maknanya.

Bagaimana dengan sekolah ? Ah.., rasanya berat bila kita harus bergantung pada institusi sekolah. Bagaimana tidak, dengan jam tatap muka yang amat minim dan tak jarang pengajarnya pun asal comot, maka hasilnya adalah generasi muda Jawa yang tak cakap berbahasa Jawa (seperti halnya penulis :p)

Sedangkan bila kita menilik dari motivasi pribadi, rasanya cukup banyak yang menghambat minat kita mempelajari bahasa Jawa dengan sungguh-sungguh. Selain makin maraknya "generasi Indonesia" yang lebih bangga dengan atribut-atribut keIndonesiaannya, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah belajar bahasa Jawa dipandang begitu merepotkan. Suatu pandangan yang wajar rasanya, karena untuk mempelajari bahasa Jawa, tak hanya tata bahasa yang kita pelajari, namun yang lebih penting adalah mempelajari "unggah-ungguh" atau sopan-santun dalam berbahasa.

Dalam tata bahasa Jawa, ada sejumlah tingkatan berbahasa yang harus dikuasai. Tujuannya adalah, kita mampu menggunakan bahasa yang tepat untuk bercakap dengan orang yang berbeda. Contoh, dengan teman sebaya kita boleh menggunakan bahasa Jawa biasa(ngoko), tapi bahasa yang sama tidaklah pantas kita gunakan saat bercakap dengan orang yang lebih tua. Adanya kelas-kelas sosial seperti ini tentunya kurang berterima di kalangan generasi sekarang yang lebih menghargai persamaan dalam berbagai hal. Namun, ada baiknya kita tidak tergesa-gesa dalam mengambil suatu simpulan.

Mari kita simak contoh berikut yang kerap disajikan dalam pelajaran bahasa Jawa:
Jw.ngoko Jw. Madya Jw. krama
makan -> mangan nedha dhahar
mandi -> adus siram siram

Dalam kalimat:
Bapak makan, saya mandi
maka bahasa Jw. Kramanya bukanlah Bapak dhahar, kula siram
bukan hanya kurang tepat dalam "rasa" bahasa Jawa,tapi bisa juga menimbulkan pemahaman yang komedik (hehehe..cobalah kawan bayangkan, kalimat di atas bisa pula dimaknai Bapak sedang makan, saya siram, maka yang terjadi adalah kawan akan dihajar oleh si Bapak)
Selain itu dalam bahasa Jawa memang ada aturan yang tidak membolehkan penggunaan bahasa Krama untuk diri sendiri.

Memang, tak seperti bahasa lain yang mengajarkan adanya persamaan di antara dua pihak yang bercakap, kesan yang muncul dari penggunaan bahasa Jawa adalah adanya klasifikasi atau pembedaan strata. Kesan ini tak sepenuhnya salah, namun kita juga harus cermat dalam menarik suatu simpulan. Dengan menggunakan bahasa Jawa secara baik dan benar, selain belajar pengendalian ego di saat yang sama kita belajar menghormati orang lain, belajar rendah hati, sehingga harmoni dengan lingkungan bisa tetap terjaga.

Semoga semangat penggunaan bahasa Jawa bisa terus diwariskan agar orang Jawa tidak punah.

Matur suwun,

No comments: